Kipas menjadi salah satu jenis suvenir yang diminati warga khususnya untuk acara pesta pernikahan. Banyak pengrajin berbondong-bondong menciptakan beragam kreasi kipas guna menarik perhatian konsumen.Salah satunya I Nyoman Sukanta. Pengrajin kipas asal Sesetan, Denpasar Selatan ini memiliki beragam inovasi menghadapi persaingan bisnis yang cukup ketat, terutama dalam hal produksi dan pemasaran kipas baik untuk suvenir maupun hiasan dinding. Menambah koleksi dan model kipas harus ia lakukan. Selain persaingan, juga sebagai cara menarik perhatian konsumen.Usaha kerajinan kipas Sukanta mengalami pasang-surut. Meski sudah berdiri sejak tahun 1978, Sukanta tetap harus bisa mempertahankan dan mengembangkan bisnis tersebut. Yang ada dalam benaknya bukan hanya bisnis. Tetap bertahan menjadi pengrajin kipas menjadi cara melestarikan kerajinan khas Sesetan, kipas cendana. “Ciri khas kipas yang kami produksi dan jual memang kipas cendana. Namun, langkanya kayu cendana dan juga harganya yang melambung tinggi membuat kipas cendana hanya menjadi sebuah pelengkap. Sukanta lebih fokus menjual kipas dari bahan kayu lokal Bali. Sukanta memulai membuka usaha kerajinan kipas dengan dasar terpaksa. “Terpaksa karena kesulitan mencari pekerjaan dan kebutuhan hidup yang terus bertambah,” ujarnya. Jalan satu-satunya adalah membuka usaha sendiri. Saat itu, lanjut Sukanta, di daerah Sesetan dikenal dengan kerajinan kipas dan patung. Sukanta memilih menekuni kerajinan kipas. Alasannya cukup sederhana. Menekuni kerajinan kipas tak diperlukan jiwa seni, namun hanya sebuah keterampilan dan ketekunan. Sukanta yang bukan berdarah seni pun memilih mulai belajar kerajinan kipas di salah seorang pengrajin kipas. “Setelah menguasai teknik membuat kipas, berbekal keberanian saya membuka usaha sendiri,” tambahnya. Sukanta membuka usaha hanya berbekal satu batang kayu eboni yang ia beli dengan harga Rp 50 ribu. Uang itu ia pinjam dari saudara iparnya. Tak hanya itu, Sukanta juga mencari dua orang teman yang bisa ia ajak kerja sama berwiraswasta. “Meski tak punya modal untuk menggaji karyawan, Saya berani mencari tenaga kerja. Saat itu, kipas adalah sesuatu yang mudah dijual. Sehingga saat kipas laku, saat itulah saya membayarkan hak dari para pegawai,” ujar Sukanta mengenang masa lalunya. Ia mengaku dulu harga untuk 20 kipas Rp 2500. | Sebagai pengrajin kipas pemula,sukanta saat itu belum berani langsung mengambil bahan kayu cendana. Sukanta terus belajar memerbaiki kualitas kipas hasil produksinya. Hasilnya, setelah lima tahun usaha yang ia beri nama “Srikandi” tersebut berdiri, Sukanta juga memproduksi kipas dari kayu cendana. “Modal membeli sebungkul kayu cendana Rp 5 juta. Itu bisa dimanfaatkan untuk 20 kipas,” tambahnya. Kini Bali kekurangan pasokan kayu cendana. Sukanta mengaku saat Timor Timur masih menjadi bagian Indonesia, kayu cendana mudah dicari. Namun setelah Timtim berdiri sendiri, kayu cendana bagaikan emas karena sulit dicari,” tambahnya. Inilah alasan Sukanta tak menjadikan kipas cendana sebagai prioritas penjualannya. Kipas cendana dijual dengan harga Rp 350 ribu hingga Rp 2 juta per buah. Sedangkan kipas kayu lokal hanya dijual seharga Rp 10 ribu hingga Rp 20 ribu. Penjualan kipas miliknya mulai mengalami penurunan. Menurut Sukanta, hal ini karena hadirnya kipas asal negeri Cina yang masuk ke Indoensia. “Mereka sanggup menjual kipas dengan harga Rp 2500 per buah dengan kualitas yang hampir sama dengan yang kami produksi. Ini mematikan usaha kami,” tambahnya. Inilah yang membuat para pengrajin kipas mulai gulung tikar. “Pada tahun 1980-an ada sekitar 200 pengrajin kipas di Sesetan. Setelah bom 2002 dan masuknya kipas Cina tahun 2003, para pengrajin kipas hanya tinggal lima orang termasuk kami. Kami bertahan di tengah gempuran kipas Cina,” ujarnya. Ada trik khusus yang membuat usaha kipas Sukanta tetap bertahan. Ayah lima anak ini mencoba membuat kipas dengan beragam kreasi baik menggunakan kreasi kain, warna, lukis dan grafir dengan laser. “Kipas kreasi tersebut dijual rata-rata 40 hingga 50 ribu per buah. Tak hanya untuk suvenir saat rsepsi pernikahan, kipasnya juga banyak dipesan oleh instansi pemerintahan dan masuk ke beberapa artshop dan toko oleh-oleh khas Bali yang kini tengah menjamur di Bali. Bahkan, pihaknya juga sering diajak Dekranasda Provinsi Bali mengikuti beragam pameran produk ekspor. Alhasil usaha tersebut merebut hati konsumennya. Kini tiap bulannya perusahaan kipas “Srikandi” milik Sukanta yang ia wariskan kepada putranya Wayan Bernes sanggup meraup omzet Rp 40 juta. —lik |
KIPAS
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar